Kamis, 20 Oktober 2016

Jurnal Vertebrata Tentang Morfologi Dan Klasifikasi Kelas Amphibia


JURNAL  TAKSONOMI VERTEBRATA
MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI KELAS AMPHIBIA

OLEH
NANDA AFRA AYU
14 106 045
KELOMPOK V
BIOLOGI B SEMESTER V


DOSEN
LIZA MEINI FITRI, M.Si


ASISTEN PEMBIMBING
ELVHIN
LASTRI LIANA
TRI ALIANTINUR RAHMI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BATUSANGKAR
2016/2017


MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI KELAS AMPHIBIA
NANDA AFRA AYU, *MUTIA.D
*KELOMPOK 5 IAIN BATUSANGKAR
ABSTRAK
Sebuah praktikum telah selesai dilakukan di Laboratorium Zoologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Batusangkar. Tujuan praktikum ini adalah agar mahasiswa Biologi  yang mengikuti matakuliah Vertebrata  mampu  mengetahui morfologi dan klasifikasi hewan dari kelas Amphibia. Dalam praktikum ini dilakukan pengukuran parameter anggota tubuh Amphibia. Dalam praktikum ini dipergunakan anggota dari ordo Anura diantaranya, Bufo melanostictus, Fejerverya cancrivora, Rana erithraea.  Dalam praktikum ini juga dilakukan penimbangan berat sampel dan indifikasi. Selain itu pengukuran terhadap sampel yang dilakukan harus tepat. Dari hasil praktikum didapatkan hasil klasifikasi dan morfologi dari anggota ordo Anura dengan baik.

Keyword : Amphibia, Klasifikasi, Habitat, Ciri-Ciri


PENDAHULUAN
A.  DEFINISI AMPHIBIA
Amphibia umumnya didefinisikan sebagai kata hewan bertulang belakang yang hidup didua alam, yakni di air dan di laut. Amphibia bertelur di air atau menyimpan telur di tempat lembab dan basah. Ketika menetes, larvanya dikatakan berudu yang hidup di air atau ditempat basah tersebut dan bernafas dengn insang. Setelah beberapa lama berudu kemudian berubah bentuk menjadi katak dewasa yang umumnya hidup di darat atau ditempat yang lebih kering dan bernafas dengan paru-paru (Djuanda, 1982).
Amphibia adalah vertebrata yang secara tipikal dapat hidup baik dalam air tawar dan di darat. Sebagian besar mengalami metamofosis dari berudu (aquatis dan bernapas dengan insang) ke dewasa (amphibius dan bernapas dengan paru-paru), namun beberapa jenis amphibius tetap memilki insang selama hidupnya. Jenis-jenis sekarang tidak memiliki sisik luar, kulit biasanya tipis dan basah (Djarubito, 1989).
Amphibia merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air naupun di darat. Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu Amphi yang berarti dua dan  Bios yang berarti hidup. Karena itu amphibia diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua bentuk kehidupan yaitu didarat dan di air (Anonim, 2011)
Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang tidak bisa mengatur suhu tubuhnya sendiri. Amfibi bertelur di tembat lembab atau berair. Habitat amfibi diantaranya yaitu hutan, kolam, sawah dan danau. Rata-rata amfibi mempunyai kulit basah dan lembut agar oksigen dapat dengan mudah masuk menembus kulit. Sebagian besar amfibi dewasa bernafas menggunakan kulit dan juga melalui paru-paru. Kelembaban kulit amfibi dijaga oleh kelenjar khusus dibawah kulitnya. Banyak amfibi menjaga kelembaban kulitnya dengan selalu berada di dekat air. Sebagian besar amfibi lahir dan tumbuh di air tawar kemudian setelah dewasa berpindah ke daratan kering dan kembali ke air untuk berkembang biak. Sebagian besar amfibi menelurkan telur yang lembut. Telur tersebut bisa berbentuk untaian atau gumpalan yang sangat kecil menyerupai jeli (Rinaldy, 2013).
B.  CIRI-CIRI KELAS AMPHIBIA
Amphibia mempunyai ciri-ciri yaitu tubuh diselubungi kulit yang berlendir, merupakan hewan berdarah dingin (poikilotem), mempunyai jantung yang terdiri dari tiga ruang yaitu dua serambi dan satu bilik, mempunyai dua pasang kaki dan pada setiap kakinya terdapat selaput renang yang terdapat diantara jari-jari kakinya dan kakinya berfungsi untuk melompat dan berenang, matanya mempunyai selaput tambahan yang diebut membrane niktilans yang sangat berfungsi waktu menyelam. Pernapasan saat masih kecebong berupa insang dan setelah dewasa alat pernapasannya berupa paru-paru dan kulit, hidingnya mempunyai katup yang mencegah air yang masuk kedalam rongga mulut ketika berenang, dan berkembang biak dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantang diluar tubuh induknya atau pembuahan eksternal (Djuanda, 1982).
Tubuh amphibia khususnya katak terdiri dari kepala, badan, dan leher yang belum tampak jelas. Sebagian kulit, kecuali pada tempat-tempat tertentu terlepas dari otot yang ada dalamnya, sehingga bagian dalam tubuhnya berupa rongga-rongga yang berisi cairan limpa subkutan (Djuanda, 1982). Kedua fase strukturnya menunjukkan bahwa amphibi merupakan kelompok chordata yang pertama kali keluar dari kehidupan air (Radiopoetro,1977).
Pada fase berudu amphibi hidup di perairan dan bernafas dengan insang. Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor. Pada fase dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru. Pada fase dewasa ini amphibi bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka insang lama kelamaan menghilang. Pada anura, tidak ditemukan leher sebagai mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara melompat. (Brotowidjoyo, 1993)
Amphibia memiliki kelopak mata dan kelenjar air mata yang berkembang baik. Pada mata terdapat membrana nictitans yang berfungsi untuk melindungi mata dari debu, kekeringan dan kondisi lain yang menyebabkan kerusakan pada mata. Sistem syaraf mengalami modifikasi seiring dengan perubahan fase hidup. Otak depan menjadi lebih besar dan hemisphaerium cerebri terbagi sempurna. Pada cerebellum konvulasi hampir tidak berkembang. Pada fase dewasa mulai terbentuk kelenjar ludah yang menghasilkan bahan pelembab atau perekat. Walaupun demikian, tidak semua amphibi melalui siklus hidup dari kehidupan perairan ke daratan. Pada beberapa amphibi, misalnya anggota Plethodontidae, tetap tinggal dalam perairan dan tidak menjadi dewasa. Selama hidup tetap dalam fase berudu, bernafas dengan insang dan berkembang biak secara neotoni. Ada beberapa jenis amphibi lain yang sebagian hidupnya berada di daratan, tetapi pada waktu tertentu kembali ke air untuk berkembang biak. Tapi ada juga beberapa jenis yang hanya hidup di darat selama hidupnya. Pada kelompok ini tidak terdapat stadium larva dalam air. (Anonymous 1, 2013).)
Amphibi hidup dengan dua habitat yaitu di habitat darat dan habitat air. Termasuk hewan poikoloterm (berdarah dingin). Pembagian tubuh terdiri atas kepala dan badan atau kepala, badan, dan ekor. Kulit lembap berlendir, terdiri dari dermis dan epidermis. Warna kulit bermacam-macam karena adanya pigmen di dalam dermis (biru, hijau, hitam, coklat, merah, dan kuning) tepat dibawah epidermis. Mempunyai dua lubang hidung yang berhubungan dengan rongga mulut. Penghubung antara rongga hidung dan rongga mulut disebut koane, di kanan kiri tulang vomer yang berbentuk V, penghubung antara rongga mulut dengan rongga telinga disebut Eustachius. Endokskeleton mempunyai kolumna vertebralis (ruas tulang belakang). Terdapat sepasang rahang, gigi, lidah, dan langit-langit (Abed, 2012).
C.  KLASIFIKASI KELAS AMPHIBIA
Kelas Amfibi dibagi menjadi tiga ordo yaitu, Ordo Urodela  (yang berekor), Ordo Anura (yang tak berekor), dan Ordo Apoda (yang tak berkaki) (Rinaldy, 2013).
1.     Amfibi Ordo Caudata (Urodela)
Caudata merupakan ordo amfibi yang memiliki ekor. Jenis ini memiliki tubuh yang panjang, memiliki anggota gerak. Spesies Caudata ada yang bernafas dengan insang dan ada juga yang bernafas dengan menggunakan paru-paru. Salamander yang tidak mempunyai paru-paru maka bernafas menggunakan kulit dan lapisan mulut. Tubuhnya terbagi antara kepala, tubuh dan ekor. Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil.
Ada jenis salamander yang tidak pernah dewasa yaitu aksolot. Jadi salamander ini tidak pernah berkembang melebihi tahap larva. Habitat dari salamander adalah di dekat sungai, sungai ataupun kolam. Umumnya salamander memakan serangga.
2.     Amfibi Ordo Anura
Anura merupakan amfibi yang tidak berekor pada saat dewasa. Namun pada siklus hidupnya, ordo Anura atau yang lebih dikenal dengan katak ini memiliki ekor saat pada fase berudu. Ordo ini sering dijumpai dengan tubuhnya seperti sedang jongkok. Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, dan anggota gerak (tetrapoda).Kulitnya cenderung basah karena memiliki kelenjar lendir dibawah kulitnya. Ciri yang paling mencolok adalah tekstur kulitnya, dimana kulit katak lebih halus dari kodok juga bentuk tubuh katak yang lebih ramping dari pada kodok. Kodok dan katak menggunakan kaki belakangnya untuk melompat. Pada pertengahan lompatan, kaki belakang kodok teregang sepenuhnya, kaki depannya ditahan kebelakang, dan kedua matanya tertutup untuk perlindungan. Ketika mendarat, tubuhnya melengkung dan kaki depannya bertindak sebagai rem.  
Kodok termasuk ordo anura yang memiliki perbedaan dengan katak dari bentuk tubuhnya yang lebih ramping dan kakinya yang lebih panjang. Kodok dan katak telah mempunyai indra organ Jacobson di langit-langit mulut sebagai indra pengecap dan pembau dunia luar. Kodok dan katak menggunakan kaki belakang untuk melompat. Katak ataupun kodok mengalami fase metamorfosis sempurna dalam siklus hidupnya. Habitat dalam siklus hidupnya. Habitat kodok dan katak adalah di sungai, kolam, sawah ataupun hutan tropis. Makanan katak dan kodok adalah serangga.
3.     Amfibi ordo Gymnophiona (Apoda)
Gymnophiona merupakan amfibi yang tidak memiliki anggota gerak dan beberapa jenis alat geraknya tereduksi secara fungsional. Tubuh menyerupai cacing, bersegmen, dan ekor mereduksi. Hewan ini mempunyai mata tertutup oleh kulit. Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik. Habitat gymnophiona (saesilia) yaitu tepi-tepi sungai atau parit atau di bawah tumpukan batu. Makanan dari adalah serangga dan cacing.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan merupakan anggota dari kelas Amphibia diantaranya, kodok  (Bufo melanostictus), katak (Rana erythrea), katak sawah ( Fejerverya cancrivora). Adapun alat yang digunakan yaitu penggaris, bak parifin dan alat tulis.
WAKTU DAN TEMPAT
Praktikum ini dilakukan pada hari kamis, 12 oktober 2016 pada pukul 10.35 WIB. Bertempat di Laboratorium Zoologi gedung L lantai 1, Institut Agama Islam (IAIN) Batusangkar.
CARA KERJA
Katak yang akan diamati terlebih dahulu diletakkan di dalam bak bedah dan dihadapkan ke arah kiri. Kemudian diamati ciri morfologi dan parameter, diantaranya panjang badan (PB), lebar kepala (LK), panjang kepala (PK), panjang kaki depan (PKD), panjang tibia-fibula (PTF), panjang femur (PF), panjang kaki belakang (PKB), panjang moncong (PM), diameter tymphanium (DT), diameter mata (DM), jarak inter nares (JIN), urutan panjang jari kaki depan (UPJKD), urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB), ada tidaknya gigi former, bentuk kelenjar parotoid, tutupan selaput renang, ada tidaknya kelenjar pada ekstrimitas dan bentuk ujung jari. Kemudian juga dicatat deskripsi tubuhnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.     Hasil
a. Bufo melanostictus   


Klasifikasi :
Kingdom                : Animalia
Filum                      : Chordata
Kelas                      : Amphibi
Ordo                       : Anura
Famili                     : Bufonidae
Genus                    : Bufo
Spesies                  : Bufo melanostictus Scheineider, 1979 (Inger,1997)
Dari praktikum yang telah dilakukan, di dapatkan hasil sebagai berikut: Bufo melanosticus memiliki panjang badan (PB) 66 mm, lebar kepala (LK) 23 mm, panjang kepala (PK) 17 mm, panjang kaki depan (PKD) 29 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 24 mm, panjang femur (PF) 26 mm, panjang kaki belakang (PKB) 33 mm, panjang moncong (PM) 8 mm, diameter tymphanium (DT) 10 mm, diameter mata (DM) 5 mm, jarak inter orbital (JIO) 5 mm, jarak inter nares (JIN) 4,43 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>1>2>4, urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>3>5>2>1, prosessus odontoid, gigi former dan kelenjar pada ekstrimitas tidak ada, bentuk kelenjar parotoid memanjang, tutupan selaput renang kaki depan sampai 1 phalanges dan bentuk ujung jari ada tonjolan antar ruas.Warna kepala hijau kecoklatan, memiliki garis supra orbital dan memiliki bintil-bintil yang ujungnya hitam.
b.   Fejervarya cancrivora



Klasifikasi

Kingdom                : Animalia
Filum                      : Chordata
Kelas                      : Amphibia
Ordo                       : Anura
Famili                     : Ranidae
Genus                    : Fejervarya
Species                  : Fejervarya cancrivora
Dari pengukuran yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut:Fejervarya cancrivora memiliki panjang badan (PB) 60 mm, lebar kepala (LK) 30 mm, panjang kepala (PK) 20 mm, panjang kaki depan (PKD) 23 mm, panjang tibia fibula (PTF) 26 mm, panjang femur (PF) 21 mm, panjang kaki belakang (PKB) 45 mm, panjang moncong (PM) 10 mm, diameter tympanum (DT) 4 mm, diameter mata (DM) 5 mm, jarak inter orbital (JIO) 10 mm, jarak inter nares (JIN) 10 mm. Urutan panjang kaki depan 2>4>1>3, urutan panjang kaki belakang 4>3>5>2>1 , bentuk ujung jari depan berbentuk gada, warna kepala coklat kehitaman, tutupan selaput renang penuh, kelenjar parotoid tidak ada, gigi former ada, dan alur supraorbitalnya tidak ada.
c.    Rana erithraea


Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Ranidae
Genus : Rana
Species : Rana erithraea
Dari praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut: Rana erithraea memiliki panjang badan (PB) 65 mm, lebar kepala (LK) 17 mm, panjang kepala (PK) 18 mm, panjang kaki depan (PKD) 21 mm, panjang tibia-fibula (PTF) 18 mm, panjang femur (PF) 13 mm, panjang kaki belakang (PKB) 34 mm, panjang moncong (PM) 12 mm, diameter tymphanium (DT) 5 mm, diameter mata (DM) 6 mm, jarak inter orbital (JIO) 8 mm, jarak inter nares (JIN) 4 mm, urutan panjang jari kaki depan (UPJKD) 3>4>1>2, urutan panjang jari kaki belakang (UPJKB) 4>5>3>2>1, prosessus odontoid pada mandibula tidak ada, gigi former ada, kelenjar pada ekstrimitas tidak ada, bentuk kelenjar parotoid tidak ada, tutupan selaput renang ada.
2.     Pembahasan
a.     Bufo melanostictus
Berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar. Bangkong jantan panjangnya (dari moncong ke anus) 55-80 mm, betina 65-85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum (gendang telinga). Gigir ini biasanya berwarna kehitaman. Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk. Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan.
Menurut Iskandar (2003), kodok ini mempunyai garis supra orbital berwarna hitam, alur-alur supra-orbital dan supratimpanik menyambung, tidak ada alur parietal.Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman.Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.Tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek
b.    Fejerverya cancrivora
Spesies ini hidup di hutan mangrove, habitat muara sungai, rawa-rawa dan terbuka, wilayah pesisir basah, seperti saluran air pinggir jalan dan genangan air. Juga tumbuh subur di lingkungan buatan manusia seperti padi sawah. Berudu mengembangkan di kolam hujan di atas garis air yang tinggi di daratan, dan dalam setiap tubuh berdiri air di Filipina. Hewan ini toleran terhadap salinitas moderat (Iskandar, 1998).
Jantan dewasa berukuran ± 67-69 mm, sedangkan betina dewasa berukuran ± 51-75 mm. Tubuh pendek gemuk dan berotot. Tungkai belakang sedikit pendek. Lebih dari setengah jari kaki berselaput renang dengan ujung yang tidak berselaput. Jari tangan tidak berselaput renang. Ujung jari tangan dan kaki lancip. Tympanum terlihat jelas (Kurniati, 2003).
Kulit dorsal (punggung) halus dengan lipatan longitudinal yang tidak teratur; beberapa individu memiliki garis vertebral yang sangat menonjol. Kulit ventral (perut) halus. Bagian dorsal berwarna coklat pucat atau coklat kehijauan dengan bintil hitam; bagian bibir terdapat garis vertikal berwarna coklat tua; permukaan dorsal lengan berwarna coklat tua atau bergaris kehitaman yang lebar. Bagian ventral berwarna keputihan dan beberapa terdapat bintik-bintik hitam (Kurniati, 2003).

c.     Rana erithraea
Kodok yang ramping dan berwarna hijau zaitun, hijau lumut atau hijau muda di punggungnya. Sepasang lipatan dorsolateral yang jelas, besar, berwarna kuning gading dan terkadang disertai dengan garis hitam, terdapat di kiri kanan punggung. Tangan dan kaki berwarna kuning coklat muda, dengan coreng-coreng terutama pada paha. Sisi bawah tubuh berwarna putih. Kulit licin dan halus. Kodok jantan sekitar 30-45 mm, dan yang betina 50-75 mm.
Tangan dengan ujung jari melebar serupa piringan yang meruncing, yang terbesar sekitar setengah diameter timpanum (gendang telinga). Piringan pada jari kaki lebih kecil. Selaput renang mencapai pangkal piringan di jari-jari kaki, kecuali pada jari keempat yang memiliki dua ruas bebas dari selaput. Terdapat sekurangnya satu bintil metatarsal di kaki, yakni di sisi dalam.
Warna punggung bervariasi dari terang ke hijau gelap dan sisi ventral umumnya keputihan, meskipun morphs biru juga telah dilaporkan. Erythraea R. memiliki lipatan krim dorso-lateral berwarna yang kadang-kadang berbatasan dengan hitam. Tangan dan kakinya kekuning-kuningan dengan bercak tidak teratur. Spesies ini memiliki kulit halus, dan panjang, jari-jari gratis yang melebarkan ke disk menit dengan alur. Ini memiliki hindlimbs panjang. Tuberkulum metatarsal batin hadir, tetapi tuberkulum metatarsal luar tidak ada (Inger dan Stuebing 2005). Jantan yang jauh lebih kecil daripada betina (Iskandar 1998), dan pejantan dewasa pembiakan memiliki bantalan perkawinan beludru kuning pada jari pertama, membentang dari pergelangan tangan ke akhir metakarpal pertama (Inger dan Greenberg 1963).
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pratikum Amphibia yang kami dilaksanakan pada tanggal 12Oktober maka dapat disimpulkan bahwa amphibia memiliki 3 ordo yaitu ordo Caecilia, Urodela dan ordo Anura. Adapun yang kami pratikumkan disini hanya dari ordo Anura saja yaitu spesies Bufo melanostictus, Fejervarya cancrivora, Rana erithraea.
Dari semua ordo anura tersebut memiliki beberapa spesies yang memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda antara spesies yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan ciri khas yang dimiliki oleh spesies tersebut maka kita dapat membedakannya dengan mudah.
1.     Bufo melanostictus memiliki ciri khas yaitu alur supra orbital yang dihubungkan dengan kelenjar parotoid oleh alur supra tympanik, kelenjar parotoid berbentuk lonjong, jari kaki berselaput renang sampai ujung dan tekstur kulit kasar diliputi bintil-bintil berduri/ benjolan.
2.     Fejerverya cancrivora Mulutnya berbentuk melancip dan terdapat gigi dirahang atasnya. Kulit dari swike ini licin dan berlendir karena terdapat mukus-mukus yang berperan dalam proses respirasi dan proteksi.
3.     Rana erithraea biasa ditemukan di kolam-kolam terbuka, tepi telaga, atau sawah; kadang-kadang didapati dalam kelompok agak besar. Lebih sering berada di air, kodok ini pada siang hari bersembunyi di antara vegetasi yang tumbuh di air yang dangkal atau di tepian. Dan malam harinya turun ke daratan di tepi air.
B.    Saran
Dalam melaksanakan praktikum ini praktikan harus lebih teliti dan cermat dalam pemilihan objek, pengukuran dan pembuatan kunci determinasi agar hasil yang didapatkan akurat dan sesuai dengan objek.
REFERENSI
Abed. Amphibia. http://tanggamusik.blogdetik.com/tag/pengertian-amphibi/ (27 Januari 2013)
Djarubito, Mukayat. 1989. Zoologi Dasar.  Jakarta: Erlangga
Djuhanda, T. 1982. Anatomi dari empat Hewan Vertebrata_Armico : Bandung.
Inger, R. F., and Stuebing, R. B. (1997). A Field Guide to the Frogs of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Limited, Kota Kinabalu.
Iskandar, D.T Mirza. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser : Jakarta
Kurniati, Hellen. 2003. Amphibians & Reptiles of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia (Frogs, Lizards and Snakes). Research Center for Biology-LIPI. Cibinong.
Rinaldy. 2013. Amfibi dan Reptil. Website: http://elib. unikom. ac. id/ files/ disk1/ 633/ jbptunikompp-gdl-rinaldyaul-31605-10 unikom_r-i.pdf. Di akses pada hari Kamis,  15 Mei 2014. Pukul 10.20 WIB



Tidak ada komentar:

Posting Komentar